Rasionalitas dan Objektifitas

Anggit Rizkianto
6 min readMay 29, 2020
Gambar: wallpapercave.com

Tulisan ini berangkat dari kebisingan pemberitaan baru-baru ini. Linimasa maupun siaran televisi terus membanjiri masyarakat dengan informasi mengenai berbagai kebijakan ataupun keputusan-keputusan politik yang diambil oleh negara yang diwakili pemerintah. Tentu keputusan politik selalu ada argumentasinya, yang disampaikan oleh banyak pihak. Mereka adalah tenaga ahli, stafsus, menteri, juru bicara maupun buzzer yang intinya adalah wakil pemerintah. Masalahnya, keputusan pemerintah sering berubah. Dengan berubahnya keputusan maka berubah pula argumentasi yang disampaikan oleh wakil pemerintah. Mulai dari keputusan penerapan PSBB, berdamai dengan virus corona, dibukanya kembali jalur transportasi di tengah pandemi, pelarangan mudik, hingga rencana pelaksanaan protokol new normal.

Apapun keputusan yang diambil pemerintah selalu memunculkan kontroversi, perdebatan terjadi tiada henti. Mereka yang menentang selalu menunjukkan masalah dari setiap argumentasi pemerintah atas keputusannya. Adanya kontradiksi, tidak berdasarkan fakta, kesalahan menetapkan prioritas, hingga adanya muatan kepentingan adalah beberapa argumentasi yang dialamatkan kepada pemerintah. Problematika ini menunjukkan pentingnya rasionalitas dalam setiap pengambilan keputusan dan berargumentasi.

Rasionalitas erat kaitannya dengan penggunaan rasio (akal). Orang yang rasional berarti mengambil keputusan menurut pikiran dan pertimbangan yang logis. Oleh karenanya, setiap keputusan rasional selalu memiliki argumentasi yang runut, sistematis dan tentu saja masuk akal. Selalu terdapat premis-premis yang dapat diterima pikiran manusia sebelum menuju kesimpulan. Descartes (1596–1650), filsuf aliran rasionalisme, mengatakan bahwa kebenaran tertinggi terdapat pada akal budi manusia. Menurutnya, rasio atau akal budi merupakan sumber pengetahuan. Hanya rasio yang dapat membawa manusia pada kebenaran. Untuk itu, manusia harus benar-benar memaksimalkan kerja akalnya.

Descartes mendefinisikan rasio sebagai akal budi. Akal budi tentu bukan hanya sekadar akal, melainkan akal yang sehat. Meskipun beberapa pakar pendidikan seringkali memisahkan istilah akal dan budi. Budi dianggap sebagai konsepsi tersendiri yang terpisah dari akal. Di Indonesia sendiri, budi seringkali dikaitkan dengan nurani dan akhlak. Maka, orang yang berakal namun tidak berbudi hanya akan menjadi orang pintar tapi tidak memiliki nurani. Oleh sebab itu, penting bagi manusia untuk selalu menyelaraskan akal dan budinya.

Mengoptimalkan akal budi pada dasarnya adalah wujud syukur manusia terhadap karunia Tuhan. Setiap manusia sudah memiliki potensi dasar untuk berpikir secara logis dan sistematis. Dengan potensi itu pula manusia bisa menimbang-nimbang dan mengambil keputusan secara tepat serta meragukan argumen yang tidak cocok dengan akal sehat dan mengkritisinya. Manusia hanya perlu melatih dan membiasakannya. Dengan demikian, manusia bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah. Descartes mengatakan bahwa segala sesuatu yang benar hanyalah ideas claires el distinctes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Dia hanya menerima kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas yang disebutnya sebagai kebenaran yang clear and distinct. Sederhananya, untuk menjadi jelas (clear) sebuah ide harus terbuka, hadir dan bisa diterima oleh pikiran. Sedangkan untuk menjadi terpilah (distinct), ide tidak hanya jelas tetapi juga harus tepat (precise) dan terpilah dari gagasan yang lain, sehingga mengandung gagasan yang murni dari dalam dirinya sendiri. Ide-ide terang benderang dan terpilah dari Descartes ini memang sangat dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepastian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah.

Jika mengamati keputusan dan argumentasi pemerintah, bukankah banyak ditemukan masalah di mana gagasannya seringkali tidak pernah clear (jelas) dan distinct (terpilah). Misalnya saja gagasan pemerintah tentang new normal atau kenormalan baru. Untuk mengatakan gagasannya clear masih banyak pertanyaan yang masih harus dijawab. Mulai dari pertanyaan “mengapa harus new normal padahal belum ada penurunan kasus?”, “apa yang dimaksud pemerintah dengan protocol kesehatan dalam new normal?”, “apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama new normal?”, “mengapa tidak ada penerapan sanksi?”, dan masih banyak lagi.

Begitu pula untuk mengatakannya gagasannya distinct (terpilah), jika mengamati argumentasi wakil-wakil pemerintah di media maka tampak belum ada kejelasan gagasan new normal yang dapat membedakannya dari yang lain. Mereka masih saja mengatakan bahwa selama new normal masyarakat harus taat dengan protokol kesehatan yang isinya adalah jaga jarak, rajin mencuci tangan, pakai masker hingga menghindari kerumunan. Lantas apa yang membedakannya dengan protokol selama PSBB? Bahkan sebelum terbitnya peraturan tentang PSBB himbauan seperti itu sudah dimunculkan. Ada yang beraharap saat new normal akan diterapkan sanksi pidana, namun hal itu justru tidak dibenarkan oleh pemerintah. Maka sangat wajar jika beberapa orang mulai meragukan gagasan pemerintah ini.

Mereka yang mengoptimalkan akal sehatnya akan terus bertanya-tanya, apa sebetulnya maksud pemerintah? Hendak diarahkan ke mana negara ini dalam menghadapi pandemi? Bahkan, ada yang sampai pada kesimpulan bahwa new normal di Indonesia hanyalah “akal-akalan” pemerintah, tidak lebih hanya sekadar narasi baru yang sengaja dimunculkan untuk menutupi kegagalan pemerintah mengatasi pandemi. Tentu kesimpulan seperti itu masih spekulasi, karena perlu untuk diragukan dan diuji. Namun, semuanya kembali kepada pemerintah. Untuk menggugurkan spekulasi itu perlu ada kejelasan gagasan dari pemerintah sendiri, sehingga tidak terus menjadi bola liar di media sosial. Untuk menghadirkan gagasan yang clear dan distinct, tidak hanya bergantung pada potensi tetapi juga kemauan dan tekad yang kuat. Meskipun akal sehat itu eksis, tetapi jika tidak diaktualisasikan maka gagasan dan keputusan rasional tidak akan muncul ke permukaan. Tentu ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, apalagi jika sudah bersinggungan dengan masalah politik. Namun, kabar baiknya masyarakat konon semakin cerdas, masih banyak orang-orang yang tetap rasional dan peduli dengan menyampaikan gagasan-gagasan tandingan. Wallahu A’lam.

Gambar: diamondbooks.org.uk

Selain rasionalitas, yang tidak kalah pentingnya adalah objektifitas. Objektifitas adalah konsep yang sebangun dengan rasionalitas namun tetap memiliki makna yang berbeda. Jika rasional adalah penggunaan akal budi di mana seseorang dapat berpikir dan menimbang-nimbang secara logis (masuk akal), maka objektif adalah keadaan yang sebenarnya (sesuai fakta), di mana pendapat pribadi atau pandangan pribadi harus dikesampingkan. Objektifitas erat kaitannya dengan konsep kebenaran. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan tidak bergantung pada pendapat atau hasil pemikiran orang. Mengutip Moreland dan Craig (2003), yang menyatakan kebenaran objektif sebagaimana berikut:

“Mereka yang mengklaim bahwa kebenaran itu tidak berasal dari pribadi-pribadi, kelompok-kelompok lainnya, mereka menerima kebenaran absolut, dan menyebutnya kebenaran objektif. Dalam pandangan ini, seseorang yang menemukan kebenaran, ia tidak menciptakan kebenaran itu, dan klaim yang dibuat benar atau salah di dalam beberapa cara atau dengan realita kebenaran itu sendiri, yang secara total bebas dari klaim apapun yang diterima oleh seseorang.”

Meskipun kebenaran objektif tidak bergantung pada rasio (akal budi) manusia, namun kebenaran objektif tidak akan pernah lepas dari peran rasio (akal budi) itu sendiri. Di sini rasio (akal budi) bukan berperan untuk menciptakan kebenaran, melainkan menemukan dan meneguhkan kebenaran sesuai dengan realitanya. Lebih dari itu, objektif juga perkara sikap. Membangun gagasan yang logis dan sistematis dengan pendekatan akal (rasio) juga perlu ditopang dengan sikap objektif, sikap di mana secara teguh fakta atau realita benar-benar dikedepankan dan pandangan pribadi dikesampingkan. Maka dari itu, setiap premis-premis hingga kesimpulan dalam suatu gagasan semestinya tetap diuji, didiskusikan dan didialektikakan. Bahkan, mendengar pendapat ahli yang kredibel sangat disarankan.

Setiap orang dapat berargumentasi secara rasional (logis dan sistematis), namun jika premis yang dibangun mengandung data yang salah (tidak sesuai fakta/tidak objektif) maka tentu argumentasinya menjadi salah serta menyesatkan, dan kesimpulannya bukanlah kebenaran. Maka, sangat disayangkan jika kemudian keputusan new normal tidak memperhatikan data yang benar terkait perkembangan kasus covid-19 di Indonesia. Dugaan ini muncul setelah para pakar epidemiologi mempertanyakan scientific evidence yang digunakan pemerintah. Sementara itu, kajian-kajian pakar epidemiologi justru memprediksikan perkembangan kasus covid-19 di Indonesia belum akan menurun dalam waktu dekat, bahkan akan terjadi ledakan kasus di beberapa tempat karena munculnya kluster baru.

Senantiasa bersikap rasional dan objektif dalam membangun gagasan atau mengambil keputusan memang bukan perkara mudah, apalagi jika itu adalah mengurus negara. Tentu ada banyak faktor yang dipertimbangkan yang sulit dipahami oleh orang yang awam terhadap urusan politik. Namun masalahnya, hanya dengan kedua sikap itulah keputusan yang benar dapat dicapai. Kebenaran itu selalu seirama dengan keadilan, ketertiban dan kemaslahatan bersama. Semoga bangsa kita selalu dalam lindungan Allah Ta’ala.

Referensi:

Descartes, Rene. 1993. Discourse on Method and Meditations on First Philosophy, terj., Donald A. Cress Indianapolis/ Cambridge: Hacket Publishing Company.

Schick, Theodore, Jr, Lewis Vaughn. 2013. Doing Philosophy; An Introduction Through. New York : McGraw-Hill.

Zubaedi dkk. 2007. Filsafat Barat; Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn. Yogyakarta: Ar Ruzz Media

Moreland, J.P & Craig, William Lane. 2003. Philosophical Foundations For A Christian Worldview. Illinois: Intervarsity Press.

--

--